1. Membayar atau melunasi
hutang adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang berhutang.
Bahkan Islam mengajarkan bagi orang yang sudah mampu untuk melunasi hutang,
agar sesegera mungkin hutangnya dilunasi. Menunda-nunda pembayaran hutang bagi
orang yang telah memiliki kemampuan untuk melunasi dikategorikan sebagai sebuah
kedzaliman. Dalam hadits diterangkan:
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمٌ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia
mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: Menunda-nunda
pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.” [HR.
al-Bukhari]
Jika orang yang berhutang sampai meninggal dunia belum melunasi hutangnya,
dan ia meninggalkan harta waris, maka untuk pelunasan hutang diambil dari harta
warisnya sebelum dibagikan kepada ahli warisnya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
....`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3
Artinya: “... (Pembagian-pembagian warisan tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS.
an-Nisa' (4): 11]
Dalam pada itu mengambil alih tanggung jawab orang yang berhutang yang
tidak mampu membayar hutangnya adalah merupakan perbuatan yang dibenarkan dan
bahkan merupakan perbuatan yang terpuji, termasuk dalam hal ini membayar hutang
orang yang tidak mampu membayar hutang sampai ia meninggal dunia. Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebajikan.
Allah berfirman:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
Artinya: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. al-Maidah
(5): 2]
Dalam hadits
diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ
يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِي
عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa
melapangkan seorang mukmin dari suatu kesusahan di dunia, maka Allah akan
melapangkannya dari kesusahan pada hari kiamat; barangsiapa yang memudahkan
bagi orang yang sedang mendapakan suatu kesulitan, Allah akan memudahkan orang
itu di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang menutup cela seorang muslim,
Allah akan menutup kesalahannya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa
menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.” [HR. Muslim]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ
عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لاَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ
أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى
صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ فَصَلَّى
عَلَيْهِ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Salmah Ibn al-Akwa’, bahwa kepada Nabi saw dihadapkan jenazah seseorang untuk
dishalatkan. Nabi bertanya: Apakah jenazah ini mempunyai hutang? Mereka (para
shahabat) menjawab: Tidak. Kemudian Nabi saw menyalatkannya. Setelah itu kepada
Nabi saw dihadapkan jenazah yang lain. Nabi saw bertanya: Apakah jenazah ini
mempunyai hutang? Mereka menjawab: Ya. Kemudian Nabi saw memerintahkan kepada
para shahabat: Shalatkanlah jenazah temanmu ini. Abu Qatadah berkata: Wahai
Rasulullah, saya yang menanggung hutangnya. Kemudian Nabi menyalatkan jenazah
itu.” [HR. al-Bukhari]
Dari hadits terakhir,
di samping diperoleh pelajaran bahwa seseorang dibenarkan menanggung hutang
dari orang yang telah meninggal dunia, sesungguhnya juga terkandung pelajaran
bahwa agar seseorang berusaha semaksimal mungkin untuk segera melunasi
hutangnya, sehingga jangan sampai meninggal dunia masih mempunyai hutang.
Berdasarkan ayat dan
hadits yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa:
a. Orang yang berhutang wajib melunasi hutangnya.
b. Hendaknya seseorang yang berhutang, berusaha semaksimal dan secepatnya
untuk dapat melunasi hutangnya.
c. Islam tidak membenarkan menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang
telah memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya.
d. Bagi orang yang berhutang dan sampai akhir hayatnya hutangnya belum
dilunasi, maka untuk pembayaran hutangnya diambil dari harta warisnya sebelum
dibagi kepada ahli warisnya.
e. Islam mengajarkan dan menganjurkan agar menolong orang yang dalam keadaan
kesulitan termasuk kesulitan dalam membayar hutang.
f. Islam membenarkan dan menganjurkan seseorang menanggung hutang orang lain
yang tidak mampu membayar hutangnya, apalagi jika orang yang berhutang itu
tidak dapat melunasi hutangnya sampai dengan meninggal dunia.
Dengan keterangan di
atas, maka kebiasaan yang terjadi di Kota Bengkulu sebagaimana yang saudara
tanyakan dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, hanya saja hendaknya diperhatikan
butir-butir aturan agama sehubungan dengan pembayaran hutang sebagaimana yang
telah disebutkan. Perlu untuk disampaikan pula hendaknya kebiasaan
pengambilalihan tanggung jawab hutang orang yang meninggal dunia yang terjadi
di kota saudara tersebut bukan hanya sekedar formalitas atau basa-basi, tapi
orang yang mengambil alih hutang tersebut betul-betul melaksanakan
kesanggupannya.
2. Sejauh kami melakukan
penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits, tidak atau belum
dapat kami ketemukan dasar hukum bagi shalat fidyah yang
saudara tanyakan.
Dalam sebuah hadits
diterangkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ
فَهُوَ رَدٌّ [رَوَاهُ البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari’Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Barangsiapa yang berbuat dalam urusan agama kami ini (ibadah,) yang
tidak terdapat di dalamnya (tuntunan dari agama), maka perbuatan itu tertolak
(tidak diterima).” [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz dari
al-Bukhari]
Dalam qa’idah
fiqhiyyah disebutkan:
اْلأَصْلُ فَي اْلعِبَادَةِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيلُ عَلَى
اْلأَمْرِ.
Artinya: “Pada
dasarnya dalam bidang ibadah tidak boleh dilakukan sampai adanya dalil yang
memerintahkan.”
Maka shalat fidyah
yang saudara katakan menjadi kewajiban untuk dilaksanakan pada malam pertama
sampai dengan malam ketiga setelah jenazah dikebumikan, tidak dibenarkan untuk
dilakukan.
Sekedar tambahan,
bahwa fidyah dalam ajaran Islam adalah kewajiban bagi orang yang meninggalkan
puasa Ramadan karena udzur, untuk memberi makan kepada seorang fakir miskin
sebanyak satu mud untuk setiap hari tidak berpuasa.